ILMU KALAM
MAKALAH TENTANG AL MU’TAZILAH
DOSEN PENGAMPU:
H. RUSTAM EFFENDI HASIBUAN,
S.AG, M.AG

DISUSUN OLEH :
RIZKA MUTMAINNAH
(11623135)
ULFA LAILA (
ANGGI ISDAYANI (
II/B/PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONTIANAK
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
TAHUN 2017 / 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan
kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw, beserta keluargnya, sabatnya, tabiin,
hingga kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Makalah yang bertemakan AL
MU’TAZILAH ini, tidak lain hanyalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Ilmu Kalam. Kami sadar bahwa dalam
penyelesaian makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dalam penulisan maupun
penyampaian materinya, karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Meskipun
demikian kami berharap makalah ini bermanfat bagi semuanya, khususnya bagi
kami. Oleh karena itu dengan lapang dada kami akan menerima kritik dan saran
yang sifatnya edukatif guna perbaikkan dimasa yang akan datang.
Dalam pengantar ini kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada dosen mata kuliah Ilmu Kalam, kepada teman-teman dan
juga kepada semua pihak terutama kepada sumber-sumber yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini, semoga amal amaliah kita semua diberi balasan
oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‘alamin.
Pontianak, 7 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................2
Daftar Isi......................................................................................................... ...................3
BAB I
Pendahuluan
a.
Latar Belakang..................................................................................... ...................4
b.
Rumusan Masalah................................................................................. ...................4
c.
Tujuan Masalah........................................................................................................
BAB II
Pembahasan
a.
Pengertian
Tarekat...................................................................................................5
b.
Sejarah Timbul dan Perkembangan
Tarekat............................................................5
c.
Macam Macam Aliran
Tarekat................................................................................7
d.
Laporan Hasil Wawancara......................................................................................11
BAB III
a.
Kesimpulan........................................................................................... .................12
Daftar Pustaka.................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Banyak
aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata
positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa
umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam
adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah
mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang
mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang
terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak
atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara
golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Banyak yang
mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderug
merusak
tatanan
agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak
sedikit yang menganggap Mu’tazilah
sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya,
sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran
ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta
lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam
kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk
mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian
mendalam di setiap sisinya. Karena itu penulis mencoba menguraikan beberapa hal
yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini tentang apa, siapa, dan
bagaimana kaum Mu’tazilah itu?
B.
Rumusan Masalah
Untuk
memperjelas arah pembahasan penulis akan membatasi pembahasan
materi yaitu:
1. Dari
mana Asal Usul Mu’tazilah?
2. Apa
saja Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah?
3. Siapa
Tokoh-tokoh Mu’tazilah?
4. Bagaimana
Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu?
C.
Tujuan Masalah
1. Mengetahui
Asal Usul Mu’tazilah dan Latar Belakang Munculnya
2. Mengetahui
Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah
3. Mengetahui
Tokoh-tokoh Mu’tazilah
4. Mengetahui
Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul
Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada
tahun 131 H.
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil
Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang
melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih
dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat
Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia
mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin
dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di surga.
namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan
neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring dengan bergulirnya waktu,
kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga
kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di
masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar
terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidak aneh bila
kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal.
Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh
syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.
Secara etimologis, kata
“Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Dalam
lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian antara
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu terdapat
beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat dalam pertikaian
tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka memilih bersikap netral.
Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy,
Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang itu disebut kelompok
Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam pertikaian politik
yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan
dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan
dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan
bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan
Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini
sering disebut kaum rasionalis Islam.
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah
produk dari orang‑orang Mu’tazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh
pihak lain untuknya, ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn
Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri
kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada
saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat
umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
B. Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran
dasar golonga Mu’tazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu
dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau Lima ajaran
dasar yaitu :
1.
Al-Tauhid
2.
Al-‘adl
3.
Al-wa’d wa al-wa’id
4.
Al-manzilah bain al-manzilatain
5.
Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
1. At Tauhid
(Kemaha Esaan Tuhan)
Tauhid
adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik
golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka
dengan ahl al-tauhid.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah
SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan
Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan
sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah
itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan
kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a.
Tidak
mengakui sifat-sifat Allah SWT
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT
memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi,
al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna,
karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat
itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan,
disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah
dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja
Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu
tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat
(wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu
adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala
al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah
yang Qadim (ta’addud al-qudama’) , yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan
Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan
dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab
itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
Artinya:
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan
Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak
dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mu’tazilah mengatakan
bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab
hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan
bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah
sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang
tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai
Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka
mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak
bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah
sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Namun
timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana
Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka
berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
وكللم الله موسى تكليما [النساء:١٦٤]
Artinya:
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung”
Mu’tazilah
mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan Kalam
pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu
Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi
pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa
as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
Jadi
Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa
perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan
sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang
jelas, baik nyata atau ghaib.
c.
Mengingkai
bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang
bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di
akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih,
menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan)
adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang
dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu
binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata
(maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka
mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
وجوه يوميذ نا ضرة – إلى ربها ناظره
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS.
al-Qiyamah: 22-23)
Mereka
mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar,
melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud
ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.
Mereka juga mentakwil ayat:
الله نور
السموت و الارض
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS.
Al-Nur: 35)
Dengan
mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat,
melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.Sedangkan terhadap
hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan
kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini
tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d.
Mengingkari
jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan
dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang
memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang
dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah
bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh
(jism).
Ide seperti
ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang
menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan
mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain
sebagainya.
e.
Mentakwilkan
ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan
manusia.
Demikian
juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki
anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah
dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan
Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan
terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan akal, melainkan
memiliki
rujukan yang sangat kuatdi dalam Al Quran. Mereka berpegang pada ayat:
[الشورى:١١].....ليس كمثله شئ......
Artinya: “...Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....”(QS. Asy Syura; 11).
Untuk menegaskan penilaiannya
terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat secara
lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan cara memalingkan arti
kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Misalnya
kata tangan (QS. Shad:75)di artikan kekuasaan dan pada kontek yang lain tangan
(QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan
esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS. Thaha: 5) diartikan kekuasaan.
2. Al- Adl
(Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-tauhid
Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka
dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk.
Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi
sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh
karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl.
Dengan dasar itu mereka
menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam semua
perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini
maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul
untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari
kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan diciptakannya manusia untuk
beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka harus diutus Rasul.
3. Al-Wa’d wa
Al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang
al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah
atau pahala bagi orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa
orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan
ancaman Tuhan. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat
baik (al Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al
‘ashi)pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang
yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
4.
Al Manzilah Bain Al-Manzilatain
(Posisi diantara dua posisi)
Prinsip
ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan
yang timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu
persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang
tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara
dua posisi.
Golongan Khawarij
berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di neraka.
Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di
neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan golongan Mu’tazilah
berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan
akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat
ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat Murjiah.
5. Al Amr bi Al
Ma’ruf wa Al Nahi ‘An Al Munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan
berbuat jahat)
Ajaran ini sebenarnya
bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh
semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut
menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan
paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang
amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan
akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang
berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat
menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam
pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati,
melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip
ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik
berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah
diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan paham
mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatana
pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan , kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
C. Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
1. Wasil
bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah
bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan,
dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail
al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah
yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang
bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy
as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula
menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat;
kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan
sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok,
yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4. An-Nazzam
Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan
itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat
lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan
mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal
itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang
yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat
al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
5
Al- Jahiz
Al- jahiz dalam tulisan-tulisan
al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan
hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan
oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar
bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya
tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat
al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi.
Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu
adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam
air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau
kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr
al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan
manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya
di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian
bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda,
meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu
Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena
pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh
kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat
bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam
bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi,
belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki
surga dan neraka.
D.
Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal
dan Wahyu
Dalam teologi Islam masalah pokok
yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada
Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk
mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang
ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan
kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia
dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan
Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
Konsepsi ini
merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang
berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi
persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan
wahyu dalam kedua tersebut di atas.
Sou’yb,
Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak
pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah
memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan
yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Masalah
mengetahui Tuhan;
b. Masalah
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah
mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran
Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai
melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi
secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara
terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan
kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang
telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang
telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui
kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana
cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan
shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?
Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?
Sudah barang
tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan yang
sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat
peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar. Bagi kaum
Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Menurut
Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal,
maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi
apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan
dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana
cara ibadah tersebut.
M. Afif (
2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat besar
kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan
bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui
kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut
Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja,
adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki
kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.
Demikian
pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan
yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk
menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
Dapat
disimpulkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
1.
Menyempurnakan pengetahuan manusia
tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban
yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-syarfiyyah, yaitu
kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada
manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal,
dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya
diketahui melalui wahyu.
2.
Memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
Kedua fungsi
tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal
yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang
telah diketahui oleh akal.
3.
Mengingatkan manusia dari kelalaian
dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.
BAB III
KESIMPULAN
1. Secara
harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran
Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah
yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang
yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut
orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara
dua posisi).
2. Mu’tazilah
adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil
bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran
teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan
‘ Amru bin Ubaid.
3.
Mu’tazilah merupakan aliran teologis
dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan
dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak
terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa
mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim”
ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada
titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam,
yang diistilahkan Mihnah.
4.
Mu’tazilah muncul dengan latar
belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh
Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan
tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum
bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang
kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi
lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan
Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan
takdir Tuhan.
5.
Penghargaan yang tinggi terhadap
akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan
Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal
pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl
(Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina
al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa
al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
6.
Dengan memahami lima hal pokok
tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan
memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus
dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak
terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang
penulis yakini akan membawa dampak negatif.
7.
Dengan kekayaan pembahasan
logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan
khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap
kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis
terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam
metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan
tokoh-tokoh lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
a.
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib
al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
b.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh
al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa
Awladih.
c.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul
Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
d.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
e.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology
Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
f.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah,
Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
g.
Nasution, Harun, Teologi Islam;
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986.
h.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah,
Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis
al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
i.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi
al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993
j.
Abd. Al Jabbarbin Ahmad, Syarh al
Ushul al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965
k.
Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al
Firaq Al Islamiyah, Dar Al Mannar, Kairo, 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar