Rabu, 04 Oktober 2017

Makalah Ijma' dan Permasalahannya

MAKALAH

TENTANG IJMA’ DAN PERMASALAHANNYA

DOSEN PENGAMPUH USHUL FIQIH:

Dr. Hamka Siregar, M.Ag

Nurul Rahmawati, M.HI

Logo IAIN Pontianak Terbaru 2015

Disusun Oleh:

Rizka Mutmainnah:11623135

Syarifah Umy Vitriany :11623043

B/I/PBS

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


TAHUN 2016 / 2017




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw, beserta keluargnya, sabatnya, tabiin, hingga kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Makalah yang bertemakan IJMA’ DAN PERMASALAHANNYA ini, tidak lain hanyalah untuk memenuhi tugas kelompok  mata kuliah Akhlak Tasawuf. Kami sadar bahwa dalam penyelesaian makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dalam penulisan maupun penyampaian materinya, karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Meskipun demikian kami berharap makalah ini bermanfat bagi semuanya, khususnya bagi kami. Oleh karena itu dengan lapangdada kami akan menerima kritik dan saran yang sifatnya edukatif guna perbaikkan dimasa yang akan datang.
Dalam pengantar ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf, kepada teman-teman dan juga kepada semua pihak terutama kepada sumber-sumber yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, semoga amal amaliah kita semua diberi balasan oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‘alamin.





Pontianak, September 2012


Penyusun






DAFTAR ISI


Kata Pengantar..............................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
a.       Latar Belakang..................................................................................... 1
b.      Rumusan Masalah................................................................................. 1
BAB II
Pembahasan
a.    Pengertian Al Ijma’ .............................................................................. 2
b.    Kedudukan Ijma’ dalam pembinaan hukum islam............................... 2
c.    Pendapat Ulama tentang ijma’.............................................................. 3
d.   Persyaratan Ijma’ dan pandangan ulama tentangnya...........................5
e.    Pembagian Ijma’ dan pandangan ulama...............................................6
f.     Beberapa masalah yang ditetapkan melalui ijma’................................7
BAB III
Kesimpulan....................................................................................................... 10

Daftar Pustaka






BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW, karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculi dari beberapa orang.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Ijma’ dan kedudukan Ijma’ ?
2.     Apa perkembangan Pendapat ulama tentang Ijma’?
3.     Apa saja syarat Ijma’ dan Pandangan Ulama tentangnya ?
4.     Apa pembagian Ijma’ dan Pandangan ulama ?
5.     Bagaimana menguraikan beberapa permasalahan yang ditetapkan melalui Ijma’ ?









BAB II
PEMBAHASAN
1.       Pengertian Al-Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian,  yaitu :
a.       Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus
             Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (15)

Artinya : “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
b.      Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:
 ..فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ...
Artinya:  “ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya :
        i.            Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW
      ii.            Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam
    iii.            Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.m pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
 Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat
2.      Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan hukum Islam
      Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
      Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
a. Firman Allah SWT :
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى الامر منكم (النساء:  59 )
Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka
b. Hadist Rasulullah SAW
انّ  امذتي لا تجمع على ضلالة ( رواه ابن حاجه )
Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam
3.      Pendapat Ulama Tentang Ijma’
Al-Ghazali merumuskan ijma’ dengan:
عبارة عن اتفاق أمة محمد خاصة على أمر من الأمور الدينية
“ Kesepakatan umat Muhammad  secara khusus atas suatu urusan agama”.
Al-Hamidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’dalam dua rumusan:
الإجماع عبارة عن اتفاق جملة أهل الحل والعقد من أمة محمد فى عصر عبى حكم واقعة من الواقع
“Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahl al-Halli Wawancara al-‘Aqdi (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad  pada suatu masa atas hukum suatu kasus”.
“Kesepakatan para mukallaf dari umat Nabi Muhammad  pada suatu masa atas hukum suatu kasus”.
Definisi yang berbeda secara substansial adalah apa yang dikemukakan oleh ulama’ syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata “semua”. Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama’syi’ah merumuskan definisi ijma’ sebagai berikut:
اتفاق جماعة لإتفاقهم فى اثبات الحكم الشرعي
“Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara’”.
Ulama’ syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri diluar apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau bebas dari dosa yang dalam hal ini menurut mereka adalah Nabi Muhammad  dan Ahl al-bait (keturunan Nabi dari Fatimah serta Hasan dan Husein).
Al-Nazham mengemukakan rumusan lain tentang ijma’:
كل قول قامت حجته
“setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.
Maksudnya: “Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syar’iyah, meskipun ucapan seseorang”.
Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian Ahl-al-Sunnah adalah apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, yang dikutip oleh ulama lainnya yaitu:
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة من الواقع
“Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”.

4.      Persyaratan Ijma’ dan pandangan ulama tentangnya
Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
a)      Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b)      Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap     agamanya).
c)      Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
·         para mujtahid itu adalah sahabat. 
·         Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
·         Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
·         Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
·         Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat Ijma’  itu harus memenuhi persyaratan ijtihad dan Kesepakatan dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya harus  muncul pendapat-pendapat  dari para mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham agama dan Para mujtahiditu harus berusaha  dan menghindari dari perbuatan-perbuatan bid’ah.
Dari syarat diatas, pandangan ulama tentang syarat ijma’ adalah:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
5.      Pembagian ijma’ dan pandangan ulama
·         Ijma’ sharih (jelas/tegas)
Kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum dari suatu kasus dengan cara masing-masing menyatakan pendapatnya secara tegas terhadap hukum tersebut. Ijma’ ini merupakan Ijma’ yang menunjukkan dengan pasti hukum kasus itu. Tidak dimungkinkan memberi hukum dengan yang berbeda dengan hukum itu, dan tidak satu ijtihadpun yang berbeda dengannya boleh dianggap. Barangsiapa mengingkari setelah tahu tentang Ijma’ itu hukumnya kafir, sebab pengingkarannya itu dia sama saja dengan orang yang mengingkari nas yang pasti (qath’iy)yang mutawatir.
·         Ijma’ sukutiy
Adanya sementara mujtahid yang menyatakan pendapat terhadap suatu masalah, sedang ahl al-hill wa al-‘aqd selebihnya mengetahuinya dan mereka diam saja, tidak mengingkarinya, baik hal ini menyangkut para sahabat maupun bukan.
Pandangan ulama terhadap Ijma’ semacam ini berbeda-beda:
  1. Ia merupakan Ijma’ yang sahih dan menjadi hujah menurut Imam Ahmad, mayoritas Hanafiyah, jumhur Syafi’iyah, segolongan ahli ushul, dan diriwayatkan seperti itu dari Imam al-Syafi’iy itu sendiri. Imam al-‘Amidiy dalam kitab ushulnya mengatakan: “Itu pendapat umum Ahlisunnah”.
  2. Ia Ijma’ tapi bukan merupakan hujah, menurut pendapat al-Dzairafiy dan salah satu pendapat mazhab Syafi’iy. Pendapat ini merupakan pilihan Imam al-‘Amidiy.
  3. Ia bukan Ijma’ menurut Malikiyah, Imam al-Baqillaniy, Isa ibn Abban, al-Syafi’iy sendiri, Dawud al-¨ahiriy, serta pilihan Imam Fakhr al-Raziy dan Imam al-Baidhawiy.
Perlu mendapat perhatian bahwa masalah-masalah Ijma’ sukutiymerupakan masalah Ijma’ yang terbesar, mengingat luasnya kawasan dunia Islam dan sulitnya menghitung ahli ijtihad. Ibn Qudamah berkata: “Tidak ada cara untuk menukil pendapat seluruh sahabat dalam suatu masalah, tidak juga penukilan pendapat isyarah. Yang ada hanyalah pendapat yang tersiar”. Yang beliau maksud dengan itu adalah Ijma’ sukutiy.
Menurut jumhur, Ijma’ yang pertama (sharih) merupakan Ijma’ yang hakiki, yang dijadikan hujah syar’iyah sedang Ijma’ yang kedua (sukutiy) yaitu i’tibariy (dianggap ada Ijma’) karena seorang mujtahid yang diam tidak tentu dia setuju, dengan demikian tidak ada kesepakatan sehingga dipertentangkan kehujahannya.
6.      Beberapa masalah yang ditetapkan melalui ijma’
Berikut merupakan uraian beberapa masalah ijma:
a.       Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
b.      Saudara-saudara seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’.
c.       Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.
d.      Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan as Sunah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
e.       Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
f.       Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
g.      Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman dagingnya.
h.      Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
i.        Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
j.        Para imam madzhab sepakat atas keharaman Ghasab (merampas hak orang lain).
k.      Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’ tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas barangnya).
l.        Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk dzanni.
m.    Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah.
n.      Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris  (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak bisa  menggantikan  posisinya  dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima  warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski terdapat  anak dari  orang yang meninggal.
o.      Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam perhitungan zakatnya.
p.      Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa diamnya nabi adalah membolehkan.
q.      Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang berhalangan.
r.        Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
s.       Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
t.        Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriah saja, tidak secara batiniah.





BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat. bahwa syarat-syarat Ijma’  itu harus memenuhi persyaratan ijtihad dan Kesepakatan dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya harus  muncul pendapat-pendapat  dari para mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham agama dan Para mujtahiditu harus berusaha  dan menghindari dari perbuatan-perbuatan  bid’ah. Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Umam, Chaerul dkk. 1998. Ushul Fiqh I. Bandung : CV. Pustaka Setia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar