MAKALAH
TENTANG IJMA’ DAN PERMASALAHANNYA
DOSEN
PENGAMPUH USHUL FIQIH:
Dr.
Hamka Siregar, M.Ag
Nurul
Rahmawati, M.HI
Disusun Oleh:
Rizka
Mutmainnah:11623135
Syarifah
Umy Vitriany :11623043
B/I/PBS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 2016 / 2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah,dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw,
beserta keluargnya, sabatnya, tabiin, hingga kepada kita selaku umatnya hingga
akhir zaman.
Makalah
yang bertemakan IJMA’ DAN PERMASALAHANNYA ini, tidak lain hanyalah
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Akhlak Tasawuf. Kami
sadar bahwa dalam penyelesaian makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dalam
penulisan maupun penyampaian materinya, karena kami masih dalam tahap
pembelajaran. Meskipun demikian kami berharap makalah ini bermanfat bagi
semuanya, khususnya bagi kami. Oleh karena itu dengan lapangdada kami akan
menerima kritik dan saran yang sifatnya edukatif guna perbaikkan dimasa yang
akan datang.
Dalam
pengantar ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen mata kuliah
Akhlak Tasawuf, kepada teman-teman dan juga kepada semua pihak terutama kepada
sumber-sumber yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, semoga amal
amaliah kita semua diberi balasan oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‘alamin.
Pontianak, September
2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
a.
Latar Belakang..................................................................................... 1
b.
Rumusan Masalah................................................................................. 1
BAB II
Pembahasan
a. Pengertian Al Ijma’ .............................................................................. 2
b. Kedudukan Ijma’ dalam pembinaan hukum islam............................... 2
c. Pendapat Ulama tentang ijma’.............................................................. 3
d. Persyaratan
Ijma’ dan pandangan ulama tentangnya...........................5
e. Pembagian Ijma’
dan pandangan ulama...............................................6
f. Beberapa
masalah yang ditetapkan melalui ijma’................................7
BAB III
Kesimpulan....................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki
tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan
Hadits) Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat
dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada
seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas
suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian
dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa
hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan
setelah kewafatan Rasulullah SAW, karena sewaktu beliau masih hidup, beliau
sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat
perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah
kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculi dari
beberapa orang.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian
Ijma’ dan kedudukan Ijma’ ?
2. Apa perkembangan
Pendapat ulama tentang Ijma’?
3. Apa saja
syarat Ijma’ dan Pandangan Ulama tentangnya ?
4. Apa
pembagian Ijma’ dan Pandangan ulama ?
5. Bagaimana
menguraikan beberapa permasalahan yang ditetapkan melalui Ijma’ ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al-Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua
pegertian, yaitu :
a.
Ijma’
berarti kesepakatan atau konsensus
Pengertian tersebut juga dapat
ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ
فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ
هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (15)
Artinya : “ Maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf :
15)
b.
Ijma
berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:
..فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا
يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ...
Artinya: “
Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama
ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya :
i.
Pengarang
kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua
ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW
ii.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul
ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam
iii.
Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’
adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap
masalah syara’.m pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum
syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum
syara’.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya
ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap
hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi
Muhammad SAW wafat
2. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan hukum Islam
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan
ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan
sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun
sunnah. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah
terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum
suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’
merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut
:
a. Firman Allah SWT :
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه
واطيعواالرّسول واولى الامر منكم (النساء: 59 )
Artinya :“
wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan
Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil
‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan
Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini
berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu
keputusan hukum yang disepakati mereka
b. Hadist
Rasulullah SAW
انّ امذتي لا تجمع على ضلالة (
رواه ابن حاجه )
Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan
bersepakat atas kesesatan.”
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya
sebagai umat yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini
berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan
hukum yang mengikat umat islam
3.
Pendapat
Ulama Tentang Ijma’
Al-Ghazali
merumuskan ijma’ dengan:
عبارة عن اتفاق أمة محمد خاصة على أمر من الأمور الدينية
“ Kesepakatan
umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”.
Al-Hamidi yang
juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’dalam dua rumusan:
الإجماع عبارة عن اتفاق جملة أهل الحل والعقد من أمة محمد
فى عصر عبى حكم واقعة من الواقع
“Ijma’ adalah
kesepakatan sejumlah Ahl al-Halli Wawancara al-‘Aqdi (para ahli yang
berkompeten mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atas
hukum suatu kasus”.
“Kesepakatan
para mukallaf dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu
kasus”.
Definisi yang
berbeda secara substansial adalah apa yang dikemukakan oleh ulama’ syi’ah.
Mereka tidak menitikberatkan pada kata “semua”. Tetapi cukup pada kelompok atau
beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum.
Untuk tujuan ini ulama’syi’ah merumuskan definisi ijma’ sebagai berikut:
اتفاق جماعة لإتفاقهم فى اثبات الحكم الشرعي
“Kesepakatan
suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara’”.
Ulama’ syi’ah
tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan
kelompok karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan
hukum tersendiri diluar apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Bagi
mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau
perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau bebas dari dosa yang dalam hal
ini menurut mereka adalah Nabi Muhammad dan Ahl al-bait (keturunan Nabi
dari Fatimah serta Hasan dan Husein).
Al-Nazham
mengemukakan rumusan lain tentang ijma’:
كل قول قامت حجته
“setiap
perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.
Maksudnya:
“Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syar’iyah,
meskipun ucapan seseorang”.
Rumusan yang
lebih mencakup kepada pengertian Ahl-al-Sunnah adalah apa yang dikemukakan
Abdul Wahab Khallaf, yang dikutip oleh ulama lainnya yaitu:
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصور
بعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة من الواقع
“Konsensus semua
mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’
mengenai suatu kasus”.
4.
Persyaratan
Ijma’ dan pandangan ulama tentangnya
Jumhur
Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
a) Yang
melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
b) Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
c) Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ketiga
syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
·
para mujtahid itu
adalah sahabat.
·
Mujtahid itu kerabat
Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya
dengan ijma’ shahabat.
·
Mujtahid itu adalah
ulama Madinah.
·
Hukum yang disepakati
itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang
menyepakatinya.
·
Tidak terdapat
hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama
Jadi dapat disimpulkan
bahwa syarat-syarat Ijma’ itu harus memenuhi persyaratan ijtihad dan Kesepakatan dalam
suatu masalah untuk menyelesaikannya
harus muncul pendapat-pendapat dari para
mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham agama dan Para
mujtahiditu harus berusaha dan menghindari dari perbuatan-perbuatan bid’ah.
Dari syarat
diatas, pandangan ulama tentang syarat ijma’ adalah:
1. Tidak cukup
ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang
(mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu
orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya
kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan
melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum
syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja,
mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan
khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan
kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya
kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat
yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan
itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar
mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’
sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka
tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan
mengikat.
5.
Pembagian
ijma’ dan pandangan ulama
·
Ijma’ sharih (jelas/tegas)
Kesepakatan para mujtahid atas
suatu hukum dari suatu kasus dengan cara masing-masing menyatakan pendapatnya
secara tegas terhadap hukum tersebut. Ijma’ ini merupakan Ijma’ yang
menunjukkan dengan pasti hukum kasus itu. Tidak dimungkinkan memberi hukum
dengan yang berbeda dengan hukum itu, dan tidak satu ijtihadpun yang berbeda
dengannya boleh dianggap. Barangsiapa mengingkari setelah tahu tentang Ijma’
itu hukumnya kafir, sebab pengingkarannya itu dia sama saja dengan orang yang
mengingkari nas yang pasti (qath’iy)yang mutawatir.
·
Ijma’ sukutiy
Adanya sementara mujtahid yang menyatakan
pendapat terhadap suatu masalah, sedang ahl al-hill wa al-‘aqd selebihnya
mengetahuinya dan mereka diam saja, tidak mengingkarinya, baik hal ini
menyangkut para sahabat maupun bukan.
Pandangan
ulama terhadap Ijma’ semacam ini
berbeda-beda:
- Ia merupakan
Ijma’ yang sahih dan menjadi hujah menurut Imam Ahmad,
mayoritas Hanafiyah, jumhur Syafi’iyah,
segolongan ahli ushul, dan diriwayatkan
seperti itu dari Imam al-Syafi’iy itu sendiri. Imam al-‘Amidiy dalam kitab
ushulnya mengatakan: “Itu pendapat umum Ahlisunnah”.
- Ia Ijma’
tapi bukan merupakan hujah, menurut pendapat al-Dzairafiy dan salah satu
pendapat mazhab Syafi’iy. Pendapat ini merupakan pilihan Imam al-‘Amidiy.
- Ia bukan
Ijma’ menurut Malikiyah,
Imam al-Baqillaniy, Isa ibn Abban, al-Syafi’iy sendiri, Dawud al-¨ahiriy,
serta pilihan Imam Fakhr al-Raziy dan Imam al-Baidhawiy.
Perlu mendapat perhatian bahwa
masalah-masalah Ijma’ sukutiymerupakan masalah Ijma’ yang terbesar, mengingat
luasnya kawasan dunia Islam dan sulitnya menghitung ahli ijtihad. Ibn Qudamah
berkata: “Tidak ada cara untuk menukil pendapat seluruh sahabat dalam suatu
masalah, tidak juga penukilan pendapat isyarah. Yang ada hanyalah pendapat yang
tersiar”. Yang beliau maksud dengan itu adalah Ijma’ sukutiy.
Menurut jumhur, Ijma’ yang pertama (sharih) merupakan
Ijma’ yang hakiki, yang dijadikan hujah syar’iyah sedang
Ijma’ yang kedua (sukutiy) yaitu i’tibariy (dianggap ada Ijma’) karena
seorang mujtahid yang diam tidak tentu dia setuju, dengan demikian tidak ada
kesepakatan sehingga dipertentangkan kehujahannya.
6.
Beberapa
masalah yang ditetapkan melalui ijma’
Berikut
merupakan uraian beberapa masalah ijma:
a.
Diadakannya adzan dua
kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin
Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang
memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya
adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut
merupakan ijma’ sukuti.
b. Saudara-saudara
seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat)
terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’.
c. Upaya
pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.
d. Menjadikan
as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Para mujtahid
bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan as Sunah sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
e. Para
mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak
dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku
kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
f. Contoh
ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada
Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan
cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama sepakat bahwa
kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan
nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut
mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
g. Kesepakatan
ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman dagingnya.
h. Shalat
tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin
Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati
oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
i.
Para ulama Mujtahid
sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
j.
Para imam madzhab sepakat
atas keharaman Ghasab (merampas hak orang lain).
k. Jual
beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’
tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas
barangnya).
l.
Para sahabat di zaman
Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang
yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk dzanni.
m. Ijma’
sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau
khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiyah
yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat di
Saqifah Bani Sa’idah.
n. Hak
menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek
ketika tidak ada bapak
bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan
warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana
yang diperoleh bapak, meski terdapat anak dari orang yang
meninggal.
o. Para
imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam perhitungan
zakatnya.
p. Ulama’
sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa diamnya
nabi adalah membolehkan.
q. Ijma’
tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan kepada
penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang
berhalangan.
r.
Ulama sepakat tentang
kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
s. Para
ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
t.
Jumhur ulama sepakat
bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriah saja, tidak secara batiniah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’
adalah kesepakatan seluruh
mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau
peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat. bahwa
syarat-syarat Ijma’ itu harus memenuhi persyaratan ijtihad
dan Kesepakatan dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya
harus muncul pendapat-pendapat dari para
mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham agama dan Para
mujtahiditu harus berusaha dan menghindari dari
perbuatan-perbuatan bid’ah. Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa
macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu
lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah
Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung : CV. Pustaka Setia.
Umam, Chaerul dkk. 1998. Ushul Fiqh I.
Bandung : CV. Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar