METODELOGI STUDI ISLAM
FENOMENA AGAMA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT
DOSEN PENGAMPU:
DWI ATMAJA
DISUSUN OLEH :
RIZKA MUTMAINNAH (11623135)
YOGA
OCAK (11623112)
TIA (11623051)
UMY
JIRA
II/B/PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONTIANAK
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
TAHUN 2017/ 2018
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah,dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw,
beserta keluargnya, sabatnya, tabiin, hingga kepada kita selaku umatnya hingga
akhir zaman.
Makalah
yang bertemakan TAREKAT
ini, tidak lain hanyalah untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Akhlak Tasawuf. Kami sadar bahwa dalam penyelesaian makalah ini
jauh dari kesempurnaan, baik dalam penulisan maupun penyampaian materinya,
karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Meskipun demikian kami berharap
makalah ini bermanfat bagi semuanya, khususnya bagi kami. Oleh karena itu
dengan lapangdada kami akan menerima kritik dan saran yang sifatnya edukatif
guna perbaikkan dimasa yang akan datang.
Dalam
pengantar ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen mata kuliah
Akhlak Tasawuf, kepada teman-teman dan juga kepada semua pihak terutama kepada
sumber-sumber yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, semoga amal
amaliah kita semua diberi balasan oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‘alamin.
Pontianak, 3 Januari
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................2
Daftar Isi......................................................................................................... ...................3
BAB I
Pendahuluan
a.
Latar Belakang..................................................................................... ...................4
b.
Rumusan Masalah................................................................................. ...................4
BAB II
Pembahasan
a. Pengertian
Tarekat...................................................................................................5
b. Sejarah Timbul dan Perkembangan
Tarekat............................................................5
c. Macam Macam Aliran Tarekat................................................................................7
d. Laporan Hasil
Wawancara......................................................................................11
BAB III
a.
Kesimpulan........................................................................................... .................12
Daftar Pustaka.................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena
agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan
penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak
mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah
mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan
eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan
terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas
agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa
melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik,
ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama
sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya
tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan
bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di
sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat
dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan
lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat
sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan
Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi
kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama
dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi
karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original.
Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari
realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti
dilingkari oleh budayanya.
Mengkaji
fenomena keagamaan, berarti mempelajari kehidupan manusia dalam kehidupan
beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah cara berfikir, sikap dan
perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci (The Holy),
keramat (karamah) yang berasal dari suatu kegaiban, (Mattulada: 1988).
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Fenomena
Agama Dalam Kehidupan Manusia
Agama
dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan dan
sistem budaya umat manusia. Sejak awal manusia berbudaya, agama dan kehidupan
beragama tersebut telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan
bentuk dari semua perilaku budayanya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan
berkembang dari adanya rasa ketergantungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang
mereka rasakan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi
untuk memohon bantuan dan pertolongan kepada kekuatan ghaib tersebut, agar
mendapatkan kehidupan yang aman, selamat dan sejahtera. Tetapi apa dan siapa
kekuatan ghaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan
bagaimana cara berkomunikasi dan memohon perlindungan dan bantuan tersebut,
mereka tidak tahu. Mereka merasakan adanya dan kebutuhan akan bantuan dan
perlindungannya. Itulah awal rasa Agama, yang merupakan desakan dari dalam diri
mereka, yang mendorong timbulnya perilaku keagamaan. Dengan demikian, rasa
Agama dan perilaku keagamaan merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau
dengan istilah lain merupakan fitrah manusia.
Fitrah
adalah kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal dari dan ditetapkan dalam
proses penciptaan manusia. Di samping fitrah beragama, manusia memiliki fitrah
untuk hidup bersama dengan manusia lainnya atau bermasyarakat. Dan fitrah pokok
dari manusia adalah fitrah berakal budi, yang memungkinkan manusia berbudi daya
untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup, mengatur dan mengembangkan
kehidupan bersama. Serta menyusun sistem kehidupan dan budaya serta lingkungan
hidup yang aman dan sejahtera. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
dengan akal budinya berkemampuan untuk menjawab tantangan dan memecahkan
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya baik yang bersumber dari rasa
keagamaan maupun rasa kebersamaan (bermasyarakat), serta rasa untuk memenuhi
kebutuhan dan mempertahankan hidup. Dan dengan akalnyalah manusia membentuk
kehidupan budaya, termasuk di dalamnya kehidupan keagamaannya. Selanjutnya,
Agama dan kehidupan keagamaan yang terbentuk bersama dengan pertumbuhan
dan perkembangan akal serta budi daya manusia disebut dengan Agama
Akal atau Agama Budaya. Sementara itu sepanjang kehidupan manusia, Allah telah
memberikan petunjuk melalui para Rasul tentang Agama dan kehidupan keagamaan
yang benar. Para Rasul itu juga berfungsi untuk memberikan petunjuk guna
meningkatkan daya akal budi manusia alam menghadapi dan menjawab tantangan
serta memecahkan permasalahan kehidupan umat manusia yang terus berkembang
sepanjang sejarahnya. Agama yang dibawa Rasul Allah itu bukan hanya berkaitan
dengan kehidupan keagamaan semata, tetapi juga menyangkut kehidupan-kehidupan
sosial budaya yang lainnya. Agama ini mendorong agar kehidupan keagamaan, kehidupan
sosial dan kehidupan budaya lainnya dapat tumbuh berkembang bersama secara
terpadu untuk mewujudkan suatu sistem budaya dan peradaban yang Islami. [1
Fenomena
agama selalu hadir dalam kehidupan manusia karena manusia tidak bisa lepas dari
Allah atau yang dianggap Allah dan karena agama sangat erat kaitannya dengan
Allah. Adapun fungsi agama bagi kehidupan.
Ada
beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan
manusia, antara lain adalah :
a. Karena
agama merupakan sumber moral
b. Karena
agama merupakan petunjuk kebenaran
c. Karena
agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
d. Karena
agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di
kala duka.
Disinilah
letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan
yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari
segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh
fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan
hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain
seperti apa yang dihuraikan di bawah:
a) Memberi
pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama
dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi
penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia
di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui
inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya,
agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan
setiap manusia harus menaati Allah SWT
b) Menjawab
pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia. Sesetengah soalan yang
senantiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal
manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat
menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah
berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
c) Memberi
rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia. Agama merupakan satu faktor
dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan
keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan
dunia dan nilai yang sama.
d) Memainkan
fungsi kawanan sosial. Kebanyakan agama di dunia adalah
menyarankan kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya
telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini
dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara
sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang
bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan
pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan
memecah-belah (desintegrative factor). Pembahasan tentang fungsi agama
disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan
sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan
sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama
dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban
sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama
menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun
agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan
memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat
memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari
begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah
satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang
sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat. Beberapa tujuan
agama yaitu :
a) Menegakan
kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
b) Mengatur
kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan baik, sehingga
dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
c) Menjunjung
tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
d) Menyempurnakan
akhlak manusia.
Menurut
para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L
Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi
umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan
sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan
kemanusiaan.
Masalahnya,
di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi.
Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan
menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian
dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut
kekuasaan. Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan
Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin
mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan
agama yang dipeluknya. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja
sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga
mabuk ekspansi keyakinan.
Fungsi
pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta
bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini
dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan
mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan
yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar
tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Kategori
pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama.
Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua
penceramah, tidak bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks
ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa
asas agama malah sejarahnya begitu berbeda. Tidak mungkin semua agama itu
sama. Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya
dalam konteks interpersonalia itu bagaimanakah saya berhubung dengan
manusia. [2]
CONTOH FENOMENA AGAMA DALAM
LINGKUNGAN MANUSIA
A.
KABUPATEN
SELAYAR
Kabupaten
Kepulauan Selayar merupakan salah satu Kabupaten di antara 24 Kabupaten/Kota di
Propinsi Sulawesi Selatan yang letaknya di ujung selatan dan memanjang dari
Utara ke Selatan. Daerah ini memiliki kekhususan, yakni satu-satunya Kabupaten
di Sulawesi Selatan yang seluruh wilayahnya terpisah dari daratan Sulawesi
Selatan dan lebih dari itu wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri dari
gugusan beberapa pulau sehingga merupakan wilayah kepulauan. Berdasarkan letak,
Kepulauan Selayar merupakan kepulauan yang berada di antara jalur alternatif perdagangan
internasional yang menjadikan Selayar secara geografis sangat strategis sebagai
pusat perdagangan dan distribusi baik secara nasional untuk melayani Kawasan
Timur Indonesia maupun pada skala internasional guna melayani negara-negara di
kawasan Asia.
Pada
kabupaten ini masyarakatnya mayoritas agama islam. Dimana bisa di rata-ratakan
sekitar 80% masyarakat kabupaten selayar adalah Islam. Agama yang lain yang
terdapat di kabupaten ini hanya Kristen, dan Budha. Agama hindu sangat jarang
dijumpai di daerah ini. Itupun agama Budha hanya terdapat di dua desa (satu
kecamatan) yaitu Kecamatan Passimasunggu yang bernama Desa Tongke-tongke dan
Biring Balang. Kemudian agama Kristiani hanya tedapat di Ibu kota
Kabupaten yaitu Kota Benteng. Hampir keseluruhan agama Kristiani yang terdapat
di Kabupaten Selayar yaitu keturunan Tiong-hoa. Yang menetap di selayar secara
turun temurun.
Oleh
sebab itu Kabupaten Selayar memiliki adat istiadat yang sangat identik dengan
agama Islam, karena secara nyata memang masyarakatnya di dominasi agama Islam.
Dimana seperti adat pada saat memperingati hari Nabi Besar Muhammad SAW. Dan
ini berlangsung sangat lama, biasanya di mulai dari bulan Maret-awal Mei. Dan
di kenal dengan nama (Mulu’). Serta mempertunjukkan adat maulid dari desa-desa.
Yang dinamakan Pa’belu. Namun selain itu masyarakat di kabupaten ini juga,
masih ada sebagian masyarakatnya yang mempercayai animisme dan dinamisme.
Dimana masih banyak sebagian orang yang percaya terhadap benda-benda gaib, atau
pohon-pohon gaib. Serta kuburan-kuburan sejarah. Mereka biasanya membawa sebuah
sesajian sebagai tanda terima kasih atas apa yang mereka dapatkan, yang pernah
mereka ungkapkan pada saat datang ke tempat yang mereka percayai memiliki
kekuatan gaib dan meyakini akan mewujudkan apa yang mereka inginkan. Sedangkan
terhadap agama kristiani atau budha itu tidak terlalu Nampak bagaimana mereka
beribadah dan kepercayaan-kepercayaan lain yang mereka yakini selain agama yang
benar-benar riil kita lihat.
Berbeda
lagi dengan yang ada di pulau-pulau kecil kepulauan selayar itu sendiri, yaitu
pulau Taka Bonerate. Yang secara etnis kawasan Taka Bonerate dihuni oleh dua
suku dominan yaitu Bajo sekitar 55%, dan bugis sekitar 40%, selebihnya suku
campuran Muna-buton dan Palue 5%. Mereka pada umumnya menganut agama Islam.
Keyakinan ini sudah di peluk masyarakat setempat secara turun temurun dan
menjadi agama dominan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, kenyataan
menunjukkan bahwa keyakinan mereka terhadap islam cenderung bersifat formalistic,
adhoc dan literer, karena itu perilaku keagamaan mereka belum mampu meredam
tindakan deskruktif yang mengancam kelestarian lingkungan pada wilayah kwasan
taka bonerate tersebut, khususnya tempat wisata alamnya yang menjadikan Taka
Bonerate terkenal di tingkat Internasional. Dimana mereka melakukan pemboman
maupun pembiusan ikan-ikan karang. Akibatnya ekosistem terumbu karang di Taka
Bonerate saat ini telah mengalami degradasi sampai tingkat yang cukup
mengkhawatirkan. Bila kondisi ini dibiarkan terus, jelas tidak saja dapat
mengancam kelestarian terumbu karang tetapi juga ekosistem laut secara luas
dapat dirusak secara permanen. Karena dominannya paham keagamaan yang bersifat
formalistik, adhoc, dan literer di kalangan masyarakat Taka Bonerate, sehingga
melahirkan pandangan tentang islam yang cenderung “eksklusif”dan
nyaris Jumud. Agama dipahami sekedar sebagai wacana ibadah dalam arti
sempit yakni ritus-ritus yang membangun hubungan manusia dengan Tuhan
(Theology). Sementara hubungan antara sesama manusia (sociology), apalagi
hubungan manusia dengan alamnya (cosmology) sama sekali tidak diletakkan
sebagai agenda penting dalam kerangka paham keagamaan mereka.
Paham
keagamaan tersebut dianut dan terbangun oleh hamper sebagian besar masyarakat,
karena materi dan metode dakwah yang dikembangkan para muballigh selama ini
memang tidak menyentuh hal tersebut diatas. Sehingga agama bagi mereka dipahami
sebagai sesuatu yang bersifat eskatologis dan transenden semata, tidak
menyentuh apalagi menyapa kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Kenyataan
yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa karena letaknya yang spesifik, maka
perlakuan dakwah mayarakat kepulauan semestinya dilakukan dengan pendekatan
yang khas dan tipikal yang tidak semestinya dilakukan dengan perlakuan dakwah
didaratan. Sebab pola interaksi, mata pencaharian, perilaku budaya masyarakat
kepulauan untuk menyebut beberapa diantaranya sangat jauh berbeda dengan watak
masyarakat daratan. Sementara terdapat kenyataan yang memperlihatkan bahwa baik
materi maupun metode dakwah yang digunakan oleh para muballigh dikawasan
tersebut cenderung sama dengan metode yang digunakan untuk komunitas di
daratan.
Bahkan
dalam tingkat yang lebih praktis terdapat satu paham keagamaan yang demikian
kuat pengaruhnya terhadap masyarakat yakni apa yang oleh masyarakat kawasan
kenal sebagai “Ajaran-ajaran Puang Rajuni”. Ajaran ini berakar pada satu
pemikiran keagamaan salah seorang ulama yang hidup di pulau Rajuni kecil
sekitar abad 20, yakni KH.Abdul Muin yang akrab disapa dengan Puang Rajuni.
Meski tinggal di Pulau Rajuni kecil, Puang Rajuni berpengaruh luas hingga ke
tujuh pulau disekitarnya. Menurut pengakuan Imam Rajuni Abdul Majid, yang juga
putra Puang Rajuni, bahwa KH.Abdul Muin atau Puang Rajuni merupakan keturunan Pangeran
Dipenegoro.
Masyarakat
Selayar di kepulauan Taka Bonerate mrupakan penganut setia Tariqat
al-muhammadiyah yang diajarkan Puang Rajuni, warisan dari orang tuanya
KH. Moh. Said. Salah satu ajarannya adalah setelah sholat jumat
dilaksanakan lagi sholat dzuhur berjamaah. Model khutbahnya menggunakan teks
bahasa arab dan setelah selesai sholat
diadakan Tahlil (membaca la ilaha illallah) dengan suara keras
sambil menggoyangkan kepala. Salahsatu pengaruh Puang Rajuni dalam kehidupan
beragama adalah fatwanya yang sampai sekarang masih dipegang erat oleh
masyarakat kepulauan Taka Bonerate yang ada di Selayar tentang anjuran untuk
tidak melakukan aktivitas melaut (menangkap ikan) pada hari Jum’at sebab Jum’at
adalah hari beribadah.
Bagi
masyarakat Taka Bonerate hari jumat berbeda dengan hari lainnya. Sepanjang hari
sabtu hingga kamis merupakan hari kerja, berlayar, bermalam di samudera,
berselimut awan, dan berbantal ombak. Tetapi hari jum’at tiba. Semua itu tidak
berlaku. Bagi mereka yang ingin melaut hari itu, akan berangkat selepas Jum’at.
Tetapi sebagian besar warga memilih unutk libur. Paham keagamaan seperti itu
sudah tertanam secara turun temurun dan bahkan telah menjadi tradisi dikalangan
masyarakat nelayan Taka Bonerate samapai saat ini. Dalam kehidupan spiritual
atau tepatnya mungkin religio, magisme, dan pengaruh Puang Rajuni cukup kuat,
termasuk menyangkut etos kerja. Karena itu tidak heran banyak yang berguru
padanya. Muridnya berjumlah ratusan, umumnya mereka yang bermukim pada kawasan
Taka Bonerate. Menurut penuturan masyarakat setempat bila salah seorang punya
hajat misalnya, atau hendak memulai satu usaha, puang Rajuni tidak terlupakan.
Misalnya mencari hari baik untuk peluncuran perahu baru, menentukan arah
bangunan rumah, hari perkawinan dan sebagainya tidak pernah terlepas dari
nasehat Puang Rajuni. Puang Rajuni juga punya pengetahuan yang cukup tentang
hari-hari baik untuk melaut.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz
adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah
system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System,"
dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu
ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark,
Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural
fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan
bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu
tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian
kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya
sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui
bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang
berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz
mendefinisikan agama sebagai:
"A
system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting
moods and motivations of a general order of existence and clothing these
conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem
uniquely realistic."
Dengan
pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian
semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama
mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan
simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi
tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya
diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu.
Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia
merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of
reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem
yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu
sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz
menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu
masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam
Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam
masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan
ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi
kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu
masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam
masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan
masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
fenomena
agama itu adalah dimensi sosiologisnya, sampai seberapa jauh agama dan
nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan
operasi masyarakat manusia. Contoh konkretnya, seperti: seberapa jauh unsur
kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian pemeluknya, ikut mengambil
bagian dalam menciptakan jenis kebudayaan, mempengaruhi terbentuknya
partai-partai politik dan golongan nonpolitik, memainkan peranan dalam
munculnya strata sosial, lahirnya organisasi, seberapa jauh agama ikut
mempengaruhi proses sosial. Untuk mencapai maksudnya sosiologi agama menempuh
cara dengan observasi, interview dan angket mengenai masalah-masalah keagamaan
yang dianggap penting dan sanggup memberikan data yang dibutuhkan.
2.
Fenomena
Kemerosotan Kualitas Agama
Pada
acara-acara keagamaan di kampung-kampung, seringkali pembaca acara (moderator)
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih di antaranya kepada ulama. Padahal
tidak jarang, sebutan ulama itu dimentahkan oleh realita acara tersebut.
Ternyata yang dimaksud hanya guru ngaji atau guru madrasah biasa.
Surutnya
kualitas makna ulama berbanding lurus dengan berkurangnya semangat untuk
mencari, menghormati dan mengamalkan ilmunya. Masyarakat pun sepertinya kurang
mendukung keberadaan orang alim yang benar-benar berilmu dan mendakwahkannya.
Penceramah yang pandai memancing gelak-tawa hadirin lebih disukai. Jadilah
majelis taklim seperti tontonan lawak, lantaran begitu derasnya tawa yang
terdengar. Apalagi bila ditambah dengan ulah buruk sebagian orang yang sudah
meraih gelar ulama sehingga kian menambah terpuruknya citra Ulama itu sendiri.
Sehingga, manusia bergelar ulama dengan makna sesungguhnya yang berorientasi
kepada Allâh Ta'âla (Ulama Rabbani) menjadi makhluk langka.
Ulama
adalah panutan dan tumpuan terhadap persoalan-persoalan yang menjadi
keluh-kesah masyarakat. Pada zaman globalisasi ini, permasalahan yang dihadapi
semakin kompleks dan aneh-aneh. Dalam hal ini, para ahli hukum agama Islam
(fuqaha) sebenarnya tidak boleh santai dalam mendalami ilmu. Apalagi sampai
berhenti, merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Kondisi ini sedikit demi
sedikit kian parah, tatkala insan-insan yang sudah terdaulat mengerti masalah
agama, tidak tanggap terhadap persoalan-persoalan baru dan masih fanatik dengan
satu kitab kuningnya.
Akibatnya,
pengetahuan agama berjalan di tempat, perkembangan ilmu agama tidak seimbang
dengan perkembangan dinamika sosial yang bergerak cepat. Zakat saham, solusi
dari bank ribawi, bayi tabung, sewa rahim, transaksi via internet dan deretan
persoalan baru yang sudah akrab dengan denyut kesibukan masyarakat menuntut
kesigapan para Ulama. Masalah-masalah yang dianggap kecil dan ringan saja masih
memerlukan kehati-hatian untuk menjawabnya, terlebih lagi persoalan-persoalan
kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akan
tetapi bagi yang kurang takut kepada Allâh Ta'âla, akan memaksakan diri untuk
memutar-mutar otak dan memeras kepalanya ketika menghadapi suatu pertanyaan;
padahal sebenarnya dia belum pernah tahu. Akan tetapi terdorong oleh ego tinggi
dan rasa malu bila tidak bisa menjawab, maka akhirnya terpaksalah muncul
jawaban dari bibirnya. Keadaan semacam ini sangat memprihatinkan. Tatkala orang
secara serampangan mengeluarkan fatwa tentang masalah agama. Padahal ia tidak
mengetahuinya atau kurang memahaminya.
Ketika
orang mengatakan ini boleh, itu tidak boleh, itu halal, itu haram, pada
hakekatnya ia telah berkata atas nama Allâh Ta'âla, Dzat yang berwenang
menetapkan aturan hukum di alam semesta ini. Karena itu, setiap orang harus
mengerem lidah dari berfatwa tentang permasalahan yang tidak ia ketahui dengan
baik. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan ghaib ini tampak aneh, tidak
alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang
terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini kalau konkret,
rasional, alamiah atau terbukti secara empiric dan ilmiah.
Ketergantungan
masyarakat dan individu pada kekuatan ghaib ditemukan dari zaman purba sampai
ke zaman moden ini, kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi
kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Kepercayaan terhadap sucinya
sesuatu itu dinamakan dalam antropologi dan sosiologi agama dengan mempercayai sifat
sacral pada sesuatu itu, mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sacral juga
cirri khas kehidupan beragama, adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal
dari Tuhan juga termasuk kehidupan beragama. Semuanya ini menunjukan bahwa
kehidupan beragama aneh tapi nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan
di mana dan kapan pun dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Namun
dalam fenomena social budaya, dalam kehidupan umat islam di zaman modern ini,
kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dan kehidupan sehari-hari,
yaitu yang berhubungan dengan yang ghaib dan ritual saja. Kehidupan beragama
umat islam dewasa ini menjadi subsistem social budayanya. Fenomena penciutan
beragama ini karena pengaruh budaya modernism dan sekularisme. Walaupun
pengaruh modernism dan sekularisme demikian kuat, ia juga menimbulkan gerakan
dan aliran keagamaan dalam rangka melawan dominasi modernism dan sekularisme
tersebut, seperti aliran skripturalis dan gerakan terror. Maraknya aliran
kebatinan, occultism, aliran ekslusif lainnya menjadikan fenomena kehidupan
beragama makin kompleks. Semua ekslusivitas dan kompleksitas kehidupan beragama
ini menjadikannya menarik untuk diteliti secara antropologis. Kajian
antropologi terhadap berbagai aliran ekslusif juga akan menjelaskan akar-akar
budaya dari objek yang dikaji, secara mencoba memahami gejala tesebut dalam
konteks budaya yang bersangkutan.
Dinamika
agama juga dapat disaksikan melalui fenomena lahirnya agama-agama baru.
Agama-agama besar yang eksis di dunia sekarang ini dalam sejarahnya merupakan
agama-agama baru di masyarakat pada awal kelahirannya. Pada konteks klasik,
bisa diambil misal pertumbuhan agama Budha yang dianggap baru ketika Siddharta
Gautama menyebarkan ajaran-ajarannya di tengah masyarakat India yang kala itu
umumnya beragama Hindu. Adapun pada konteks kontemporer, kelahiran agama-agama
baru dapat dilihat antara lain melalui kemunculan Aum Shinrikyo di Jepang,
Scientology di Jerman dan Falungong di China. Menariknya, lahirnya agama-agama
baru tersebut rata-rata mendapatkan kecaman sebagai ajaran yang akan merusak
tatanan yang sudah mapan di masyarakat. Islam contohnya, ketika pertama kali
diserukan Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat Arabia juga mendapat reaksi
dan tuduhan sebagai ajaran yang mengancam eksistensi kepercayaan keagamaan
sekaligus keharmonisan hidup penduduk setempat.
Secara
umum, masyarakat Indonesia terkenal memiliki tingkat religiositas yang tinggi.
Hal ini terbukti dengan keberadaan agama di negeri ini yang diakui dan dilindungi
pemerintah sesuai dengan undang-undang. Dengan bebas pemeluk dari berbagai
agama melakukan aktifitas yang bernuansa rohani sesuai dengan keyakinannya.
Hari-hari raya keagamaan dijalani dengan begitu serius oleh setiap pemeluknya.
Bahkan tidak jarang para pejabat pemerintah menghadiri perayaan agama tertentu
sebagai bukti pengakuan dan dukungan nyata. Tentu saja, hal ini menggembirakan
semua pihak, secara khusus masyarakat yang meyakininya. Namun demikian, ada
hal-hal yang perlu kita dicermati dengan seksama, yakni realita yang ada dalam
masyarakat pemeluk suatu agama. Saya mengamati hal ini dengan sungguh serius,
tentang adanya perbedaan mendasar antara fenomena dan realita kehidupan umat
beragama.
Dalam
kehidupan sosial, agama memang tidak hanya menjadi legitimasi etik bagi
pemeluknya, tetapi juga memiliki peran penting dalam ranah kehidupan sosial
masyarakat, ekonomi, demikian pula dalam ranah politik. Dengan kata lain, peran
agama dalam masyarakat kita cukup menguat, dan tercermin baik pada
struktur masyarakat maupun dalam struktur politik bernegara. Fenomena tersebut
membenarkan prediksi Jhon Naisbit tentang “kebangkitan agama-agama” pada abad
21 yang ditandai dengan makin meningkatnya hasrat masyarakat menjadikan agama
sebagai sumber utama rujukan dalam setiap ranah kehidupan. Namun di sisi lain,
kebangkitan agama menjadi pergumulan atau kekwatiran tersendiri. Pasalnya,
kebangkitan agama yang terjadi, agaknya baru sebatas kebangkitan dalam arti
formal, yaitu peningkatan secara kuantitatif penganut agama di
tengah masyarakat. Kebangkitan agama belum sepenuhnya disertai dengan komiitmen
untuk menjalankan ajaran agama secara substantif. Kebanyakan orang masih
mengamalkan simbol-simbol ritual agama yang tidak disertai kesadaran spiritual.
Model pengenalan agama yang menekankan simbol-simbol ritual ini berpotensi
menampilkan wajah kehidupan beragama yang kurang angun atau bersahabat
dan tidak jarang terkesan menyeramkan karena semangat penuh fanatik dari
masing-masing pengikut agama terkadang memicu pecahnya konplik antar umat
beragama. Disinilah kebangkitan agama memiliki dua sisi yang harus diperhatikan
sekaligus diwaspadai. Karena agama berpotensi menjadi altruism masyarakat atas
nilai-nilai, sekaligus berpotensi pula menjadi komuditas sentimental terhadap
realitas yang penuh keragaman budaya etnis dan agama. Agama yang seharusnya
menjadi inspirasi bagi manusia untuk membangun hidup berkeadaban belum
menyentuh problem real kemasyarakatan. Para agamawan masih cenderung lebih
memilih tema surga dan keselamatan di akhirat ketimbang membicarakan atau
melakukan dialog dan forum kajian ilmiah tentang sikap apa yang seharusnya
dimiliki seseorang yang beragama dalam membangun peradaban manusia seutuhnya.
Lebih parah lagi masih banyak dari kalangan agamawan menjadikan agama
hanya sebagai instrument pembangunan kekuatan politik untuk kepentingan
pribadi. Doktrin agama diartikan/diiterpretasikan untuk melegitimasikan
kepentingan pribadi semata dan menghancurkan bangunan stabilitas sosial, dan
masyarakat hanyut dalam hegemoni kepentingan para tokoh agamanya yang
terkadang tidak jujur. Bahkan tidak jarang kelompok agama tertentu dalam
masyarakat menyakiti kelompok yang lainnya dengan mengatasnamakan
“kebenaran”, “mission” serta istilah lain yang kerap diperdengarkan dan
menjadi materi kajian yang sering diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat
oleh tokoh agama melalui ceramah-ceramahnya.
Kenyataan
secara umum memperlihatkan, masih banyak khotbah attau ceramah yang disampaikan
oleh para agamawan masih mengandung misperception dan misunderstanding terhadap
agama atau keyakinan lain. Bahkan terkadang masih muncul khotbah aatau ceramah
yang bernada hasutan, fitnahan dan provokatif terhadap agama lain. Hal ini
memperlihatkan bahwa kesadaran tentang realitas pluralitas masyarakat dan agama
dan pentingnya toleransi belum memadai. Rendahnya kesadaran terhadap realitas
pluralitas masyarakat berpotensi bukan saja mengganggu kehidupan bersama dalam
masyarakat, melainkan juga berpotensi bagi kekerasan terhadap kemanusiaan.
Dengan
kata lain, kekerasan terhadap orang lain justru bermula dari kekerasan di
dalam pikiran yang pada saatnya akan terwujud dalam bentuk kekerasan fisik,
atau perlakuan diskriminatif terhadap sesama manusia, sesama anak bangsa,
sesama umat beragama. Pengalaman dan peristiwa konplik bernuansa SARA yang
pernah terjadi seperti Ambon, Poso, Sampit, dan sebagainya memperlihakan peran
yang signifikan dari para agamawan/tokoh agama dalam mengobarkan semangat
kebencian atau permusuhan terhadap kelompok lain.
Agama dan Hak Asasi Manusia
Dalam
konferensi Agama dan Perdamaian yang berlangsung di Kathmandu, Nepal 28
Oktober 2 Nopember 1991, dikatakan bahhwa peranan agama dalam kehidupan
manusia adalah sangat menentukan. Alasannya, karena agama adalah mata air kehidupan
tempat manusia menemukan makna kehidupan yang terdalam. Ini menandakan bahwa
beragama adalah salah satu hak asasi manusia, karena didalamnya manusia
menemukan pandangan hidup dan inspirasi yang dapat menjadi landasan yang kokoh
untuk pembentukan nilai, harkat dan martabat manusia. Begitu pentingnya peranan
agama, maka dalam mengisi era globalisasi atau abad 21 yang maju dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia akan mendambakan peranan agama sebagai
petunjuk rohani untuk mengatasi keterasingan dan kegersangan batiniah.
Dengan
demikian, agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai
harmoni dan perdamaian bagi manusia di masa kini maupun di masa mendatang.
Dengan demikian pula, peranan agama bukanlah terutama sekedar untuk melestarikan
nilai-nilai tradisional, tetapi berperan lebih sebagai suatu kekuatan yang
transformatif. Artinya agama berada bukan untuk memuja masa lampau, tetapi
menjadi inspirasi dan mampu menciptakan masa depan. Inilah peranan agama-agama
dalam kehidupan manusia pada masa kini maupun dimasa mendatang, sehingga dalam
menghadapi dunia modern ini dimana terjadi kebangkitan agama-agama, hak
asasi manusia perlu dijamin; karena pada dasarnya di masa dan di abad manapun
manusia itu adalah manusia yang beragama. Kesadaran dan pengakuan bahwa
beragama adalah hak asasi manusia, hendaknya berlanjut pula kepada kesadaran
terhadap realitas pluralitas masyarakat; kesadaran membangun kehidupan bersama
yang saling menghormati dan saling menghargai berbagai perbedaan agama, kepercayaan,
bahkan keyakinan; serta melahirkan komitmen terhadap kehidupan bersama yang
mengupayakan dan memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi masyarakan secara
keseluruhan.
Oleh
karena itu, kecendrungan mempertuhankan agama, pemutlakkan agama sendiri/tertentu
dan melihat orang lain salah, dosa dan sesat dapat dihindari. Karena akibat
dari sikap pemutlakkan agama menjadi tragis. Ada keluarga yang pecah karena
agama. Ada Negara yang pecah karena agama. Orang saling membenci bahkan saling
membunuh karena agama. Tragis dan ironis, karena semua agama mengajarkan welas
asih dan kasih saying. Tetapi jika penganut-penganutnya memutlakkan agama
sendiri sebagai tujuan, maka agama berwajah seram. Dan agama berpotensi
mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-menyekat, memisah-misahkan manusia. Saling
menajiskan satu dengan yang lain.
Keberadaan
agama atau kepercayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat.
Manusia pada awalnya menyadari bahwa ada kekuatan yang melampaui kekuatan yang
ada pada dirinya. Karenanya manusia mulai menyembah dewa-dewa; animisme dan
dinamisme mulai berkembang. Bersamaan dengan kesadaran dan tindakan penyembahan
ini, manusia lalu menciptakan agama dan secara serentak pula bersamaan mereka
menciptakan karya-karya seni. Kesadaran diri sebagai manusia jelas tidak dapat
dilepaskan dari adanya manusia lain di luar dirinya yang kemudian membentuk
masyarakat atau kelompok manusia.
Seorang
individu menyadari dirinya sebagai manusia ketika ia mengalami manusia lain
yang ada di luar dirinya. Karya seni, juga agama, adalah hasil dari proses
kreatif-produktif masyarakat melalui pengembangan kemampuannya sebagai mahluk
rasional (homo sapiens) tetapi sekaligus manusia spiritual (homo religius).
Agama sebagai kepercayaan kolektif dapat dikatakan terbentuk setelah adanya
masyarakat. Agama tidak dapat dipandang sebagai kepercayaan individu belaka
yang berusaha mengenali kekuatan di luar dirinya lepas dari masyarakat. Pokok
tersebut menjadi jelas bahwa agama dapat dibedakan dari kepercayaan pribadi dalam
hal sifat sosial-kolektif yang dimilikinya.
Agama
dalam pengertian inilah yang hendak dihubungkan dengan masyarakat. Masyarakat
muncul ketika ada pergeseran cara hidup manusia dari nomaden menjadi manusia
menetap, dari berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi
bercocok tanam. Saat itulah manusia mulai berkelompok dan menemukan dirinya
berada dalam ketegangan antara kepentingannya dengan kepentingan orang lain
dalam kelompok itu. Di satu sisi masyarakat yang terbentuk itu mendorong terbentuknya
peradaban manusia yang mengangkat harkat dan martabatnya sebagai makhluk
berakal budi ke tingkat yang lebih tinggi. Kenyataan masyarakat yang terbagi
dalam kelas-kelas sosial mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas
untuk melarikan diri dari keadaan struktural masyarakat yang represif dan
kemudian melarikan impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah “…usaha
manusia untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa
wujud kasadnya.” Keterkaitan yang demikian erat antara agama dan masyarakat ini
berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat
demi perubahan sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan
atau merugikan masyarakat itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, pada umumnya orang menilai kehidupan iman
seseorang melalui kegiatan kerohanian atau keagamaan yang diikutinya. Namun,
menurut saya fenomena keikutsertaan seseorang di dalam setiap kegiatan
keagamaan, bukanlah standart untuk menilai bahwa dia seorang umat beragama yang
baik. Nyata dalam kehidupan di masyarakat, belajar agama sekalipun, bukanlah
jaminan bahwa seseorang adalah umat yang baik. Belajar agama, atau mengikuti
setiap kegiatan keagamaan hanyalah sebatas ilmu (Science) tanpa diaplikasikan
dalam kehidupan nyata.
Keberagamaan
seseorang harus dircerminkan dalam seluruh aspek kehidupannya setiap hari.
Sebab apabila tidak ada perbedaan, malah menjadi batu sandungan. Idealnya,
setiap tindakan kita harus dijiwai oleh keyakinan yang kita amini, inilah sikap
hidup orang beragama yang baik. Kalau ini terjadi, maka saya sangat percaya
bahwa masalah-masalah yang ada di negeri kita ini dapat diatasi. Mengapa?
Karena semua pihak dewasa dalam setiap tindakannya dan tidak perlu mempersalahkan
orang lain. Sebaliknya, mendukung dan memberi saran membangun demi kebaikan
kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nata,
Abuddin, (2000), “Metodologi Studi Islam”, Raja
Grassindo Persada, Jakarta.
2. Agus,
Bustanuddin, (2006), “Agama dalam Kehidupan Masyarakat”, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
3. Kahmad,
Dadang, (2002), “Sosiologi Agama”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
4. Nata,
Abuddin, (1998), “Metodologi Studi Islam”, Rajawali Press Citra Niaga
Buku Perguruan Tinggi, Jakarta.
5. Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991
6. http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/15/agama-dan-perubahan-sosial-sebuah-telaah-pemikiran-karl-marx-dan-emile-durkheim/